Pada zaman dahulu, Kubang merupakan salah satu sentra pertenunan yang sangat ternama, tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi juga di Nusantara. Peralatan tenun hampir dapat dijumpai di setiap rumah penduduk desa tersebut ketika itu. Bahkan, berdasarkan cerita dari orang-orang tua, para perempuan dan gadis Kubang dulunya kerap menenun di halaman rumah mereka sambil menunggui padi yang tengah dijemur di bawah terik matahari. Pada awal abad ke-19, di Kubang terdapat puluhan pengusaha tenun dengan karyawan yang mencapai ribuan orang. Produk utama mereka, yaitu sarung, dipasarkan ke seluruh Nusantara dan bahkan sampai ke mancanegara. Pada tahun 1970-an, para pengusaha tenun di Kubang mulai melakukan modernisasi terhadap produk mereka, yakni dengan cara mengadopsi desain tenun dari daerah lain. Mereka tidak lagi sekadar membuat kain sarung dan songket, tapi juga mulai memproduksi bahan-bahan untuk pakaian, baik pria maupun wanita. Dari waktu ke waktu, industri pertenunan Kubang terus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Selain H Ridwan By, beberapa label tenun Kubang lain yang sempat berjaya pada masanya, antara lain, adalah tenun H Tabrani, H Nahrawi, dan Bustami (Darnetti, Elita, Harmailis, 2018).
Memasuki era 1990-an, industri pertenunan Kubang mulai melesu karena berbagai faktor, antara lain, disebabkan oleh manajemen yang buruk dan persaingan yang tidak sehat di antara sesama pengusaha tenun. Di samping itu, semakin berkembangnya bahan pakaian alernatif di tengah-tengah masyarakat, membuat penjualan kain tenun Kubang menurun drastis di pasaran. Sejumlah pengusaha tenun Kubang pun akhirnya terpaksa gulung tikar termasuk tenun Kubang H. Ridwan. Namun, pada tahun 2007 tenun Kubang di Lima Puluh Kota mulai bangkit kembali (Darnetti, Elita, Harmailis, 2018).
Tenun Kubang memiliki fungsi budaya, spiritual, fungsi pakai, seni/hias, dan sebagainnya. Bentuk tenun Kubang berasal dari bentuk alam, bentuk-bentuknya terdiri dari kepala kain, pinggir kain dan tengah kain. Bentuk motif kepala kain seperti kaluak paku, pucuak rabuang, sigagau, balah kacang. Bentuk pinggir kain seperti Motif bayam-bayam, batang pinang, bungo ketek, saluak laka, pucuak rabuang. Batehnyo batang pinang. Tengah kain terdiri atas Pucuak rabuang bada mudiak, Buah palo, Saik kalamai (saik ajik), Bungo melati, Ghamo-ghamo, Saik ajik babintang, Kelok sambilan (paluik aka), Cantik manis, Piala paga, Bungo basaga (Youlandri, 2015).
Makna motif tenun berasal dari falsafah adat alam takambang jadi guru. Motif Bada Mudiak menggambarkan dalam kehidupan di Rumah Gadang harus rukun sehingga menjadi tauladan bagi masyarakat Minangkabau. Sama halnya dengan contoh yang ada di alam ini yaitu ikan Bada, mereka selalu kompak. Buah Palo bermakna sesuatu hal janganlah dilihat dari luar saja, lihatlah sampai ke dalamnya. Buah Pala itulah sebutan motif ini dalam bahasa Indonesia, buah ini sangat berkhasiat, mulai dari kulit luarnya sampai isi dalamnya. Namun kulit luar buah pala ini tidaklah menarik, padahal banyak khasiatnya, orang Minangkabau mengajarkan bahwa sesuatu itu janganlah hanya dilihat dari luarnya saja, namun lihatlah sampai isinya dan manfaatnya. Saik Ajik, dikenal dengan nama saik kalamai memiliki makna hubungan antara orang Rumah Gadang dengan masyarakat harus selalu terjalin. Oleh karena itu, masyarakat harus mempunyai sifat kehati-hatian dalam berucap dan bertingkah laku. Sama halnya dengan proses pembuatan kalamai, yang harus ekstra hati-hati, karena jika tidak maka pembuatan kalamai akan gagal. Bungo Malati melambangkan kesucian, bunga melati merupakan tanaman yang banyak manfaatnya, warna putih serta wanginya yang semerbak membuat siapapun yang melihat dan menghirup wanginya, akan terasa damai di hatinya. Oleh karena itu, warna putih ini bisa dijadikan lambang kesucian pada motif tenun. Ghamo-ghamo maknanya adalah susunan kehidupan masyarakat Minangkabau harus teratur, kalau tidak terlakana generasi yang selanjutnyalah yang akan menerima ganjarannya. Bintang-bintang merupakan motif saik ajik yang didalamnya diberi motif bintang-bintang. Maknanya sama dengan saik ajik yaitu manusia harus selalu bersifat hati-hati. Kelok sambilan, paluik aka bermakna pikiran manusia haruslah kuat. Jangan terpengaruh dengan fikiran-fikiran yang takut akan jatuh. Kelok Paku melambangkan besarnya tanggung jawab laki – laki dalam Minangkabau. Balah Kacang merupakan arti dari, kita sebagai manusia tidak boleh sombong (Youlandri, 2015).
Usaha pertenunan di Kubang merupakan suatu usaha yang turun-temurun dari nenek moyang mereka dahulu sejak abad ke-19. Semula usaha tenun dilakukan dengan alat yang sangat sederhana sekali, yaitu dengan memakai alat yang diberi nama gedongan. Pekerjaan ini pada umumnya dilakukan oleh kaum wanita di rumahnya masing-masing yang juga merupakan pekerjaan sambilan, sehingga untuk menyiapkan selembar kain memerlukan waktu yang lama. Untuk menyelesaikan selembar kain sarung yang panjang 4 meter, diperlukan waktu 4 atau 5 hari. Motifnya mula-mula hanya kotak-kotak saja atau disebut Bugis Kubang. Bahan warna pencelup benang mula-mula mereka pakai bahan tumbuh-tumbuhan yaitu daun senam untuk warna hijau, kemudian getah-getah gambir, kacang miang dan pinang untuk warna merah dan kuning, kulit bodi untuk warna hitam. Benangnya dari jenis katun dan kualitasnya cukup memuaskan, banyak peminat kain tenun ini, sampai-sampai ke luar daerah Sumatera Barat, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Motif sarung hasil tenun serupa dengan kain Makasar (Bugis) makanya disebut Bugis Kubang ada yang diberi nama Lubang Tubo, atau Mulukuk hanyuk.