Songket adalah hasil kerajinan yang berupa bahan (kain) yang dibuat dari benang (kapas, sutra, dan sebagainya) dengan cara memasuk-masukan pakan secara melintang pada lunsing. Songket Berasal dari istilah sungkit, dalam bahasa Melayu dan Indonesia berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya, mengaitkan dan mengambil benang dengan jumlah tertentu.
Sejarah
Banyak sekali informasi mengenai sejarah pertenunan Silungkang Sampai sekarang tidak ada kepastian tahun berapa penduduk Silungkang memiliki kepandaian bertenun? Banyak sekali informasi yang masih simpang siur mengenai asal usul sejarah tenun songket ini. Ada yang mengatakan bahwa bertenun sudah dibawa dari nenek moyang Silungkang dari daerah asal ke Silungkang (Munir Taher). Dimana kah daerah asal itu, apakah dari Taratak Boncah yang datang dari Pariangan Padang Panjang, sebuah nagari kecil yang selalu dirujuk sebagai daerah asal oleh berbagai nagari lain di Sumatera Barat, termasuk nagari Silungkang. Jika dikatakan bahwa perpindahan penduduk terjadi pada abad ke 6, maka tentu nenek moyang orang Silungkang sudah membawa kepandaian menenun dari negeri asal, apakah dari nagari Taratak Boncah atau dari nagari Priangan, Padang Panjang sebagai perpindahan awal. Nagari Priangan ini adalah nagari tempat para pedagang India bermukim untuk sementara menunggu produksi emas yang datang dari nagari Saruaso (Dobbin, 1977;1983). Kalau memang demikian, tentu saja hasil tenun awal sangat sederhana.
Aspek Sosial
Silungkang adalah bagian dari Wilayah Minangkabau yang manganut sistem kekerabatan berdasarkan keturanan ibu matrilineal yaitu garis keturunan ibu. Kerena sistem pewarisan harta pusaka tinggi menurut keturan ibu, sedangka laki-laki sebagi penjaga harta pusaka, hal ini membuat laik-laki Minangkabau untuk merantau. Sesuai dengan ungkapan “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah paguno balun”.
Menenun adalah pekerjaan perempuan dan sekaligus melambangkan status sosial mereka, adalah “malu” jika perempuan Silungkang tidak pandai betenun. jumlah kepemilikan tenun Songket menunjukan status Sosial semakin banyak kain songketnya maka semakin tinggi status sosialnya.
Ada lima suku darek, yaitu Patopang, Dalimo, Melayu, Payabadar, dan Sipayang, yang bergabung dengan laras Koto Piliang atau dalam tambo Minangkabau, nagari Silungkang disebut Gajahtongga Koto-Piliang. Pemimpin nagari ini mendapat tempat istimewa di istana Pagaruyung, orang yang diminta nasehatnya oleh raja Minangkabau. Tempat istimewa nagari ini barangkali dapat dihubungkan dengan nasehat yang diberikan kepada utusan dari Bukit Batu Patah tentang pertarungan dengan kerbau Jawa. Laras Koto-Piliang yang otokratis juga tampak dalam hirarkhi sosialnya.
Kelompok pertama dan teratas disebut urang nandi (para aristokrat), yang merupakan pionir nagari. Sebagian besar kekuasaan politik terpusat di tangan mereka dan mereka berfungsi sebagai kelas penguasa lokal, yang menduduki posisi sebagai demang atau kepala nagari; dan mereka juga pemegang akses terbesar terhadap aset-aset nagari, menguasai sebagian besar lahan pertanian.
Kelompok kedua, yaitu kelas menengah yang umumnya adalah pedagang yang merupakan pendatang baru.
Kelompok ketiga adalah urang lociah adalah kelompok pendatang yang sebagian besar bekerja membantu kelompok pertama dalam urusan rumahtangga, membawakan berbagai makanan untuk acara-acara ritual yang dilakukan oleh kelompok pertama. Secara sosial mereka dianggap sebagai manusia dengan status lebih rendah dibanding penduduk asli karena mereka dianggap keturunan budak yang merupakan pampasan dari jaman Perang Padri (Dobbin, 1983), bekas tahanan, atau orang usiran dari nagari lain. Pada tahun 1860, kelompok ini hampir mencapai sepertiga jumlah penduduk Silungkang (Verkerk Pistorious, 1871). Walaupun pemerintah menghapus perbudakan pada awal abad keduapuluh, urang datang tetap dianggap rendah dan terpisah jauh dengan penduduk asli atau mereka tinggal serumah membantu keluarga dari Nandi. Perbedaan ini terlihat jelas dari pola tempat tinggal mereka. Kebanyakan urang datang tinggal di wilayah pegunungan atau di luar kampung, di ladang, yang kebanyakan dimiliki oleh kelompok kelas atas. Biasanya mereka bekerja sebagai pekerja di tanah pertanian milik para bangsawan atau tukang tenun dalam usaha rumah tangga tenun, seperti Taltex (Talaha Textil) dan Gapersil (Gabungan Pertenunan Silungkang), atau pada abad sembilan belas, ketika Silungkang terkenal sebagai penghasil emas, mereka bekerja sebagai penambang (Benda dan McVey, 1960: 102)